Pembebanan Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Ketentuan Hukum Positif Versus Denda Adat

PEMBEBANAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH

DALAM KETENTUAN HUKUM POSITIF

VERSUS DENDA ADAT

 

Oleh:   M. TOYEB, S.Ag., M.H. (Hakim Pengadilan Agama Sanggau)

PENDAHULUAN

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan landasan hukum terhadap pelaksanaan perkawinan di Indonesia yang sebelum lahirnya Undang-Undang ini, berlaku beberapa ketentuan hukum (paling tidak ada 5 ketentuan hukum) yang mengatur tentang perkawinan di masyarakat Indonesia pada saat itu sesuai golongan masing-masing.

Kurun waktu hampir 40 tahun berlakunya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, eksistensi undang-undang tersebut mampu menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia menyangkut kepastian hukum terhadap perkawinan yang dilaksanakan dan kepastian hukum menyangkut status keturunan dari perkawinan tersebut.

Selanjutnya dalam perjalanan waktu, manakala dalam sebuah rumah tangga terjadi perselisihan yang menimbulkan ketidakharmonisan, upaya persuasi dan mediasi oleh pihak keluargapun tidak berhasil, maka salah satu pihak baik suami maupun istri dapat mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan perundang-undangan telah mengatur dan membagi kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan perkara menyangkut bidang perkawinan yaitu Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau bagi perkawinannya yang tercatat di Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam atau yang perkawinannya tercatat di Kantor Catatn Sipil. Dalam proses persidangan Majelis Hakim diberi kewenangan untuk mengabulkan atau menolak permohonan atau gugatan perceraian sesuai hasil pemeriksaan secara maksimal di persidangan. Apabila tidak beralasan hukum sesuai peraturan perundang-undangan, maka berdasarkan pemeriksaan yang cermat Majelis Hakim dapat menolak permohonan atau gugatan perceraian tersebut, namun sebaliknya apabila permohonan atau gugatan cerai tersebut berdasarkan pemeriksaan yang cermat pula, cukup beralasan hukum dan Majelis Hakim telah berupaya maksimal mendamaikan/menasihati para pihak baik melalui upaya mediasi maupun upaya damai di muka persidangan, ternyata tidak berhasil maka Majelis Hakim dapat mengabulkan permohonan atau gugatan perceraian tersebut.

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai hakim, penulis menemukan beberapa kasus perceraian yang diajukan oleh pihak berperkara (khususnya di Kabupaten Sanggau), baik cerai talak maupun cerai gugat hanya untuk memenuhi syarat administrasi mendapatkan pengakuan dengan adanya akta cerai. Hal ini terjadi karena para pihak sudah bercerai secara adat (terutama menurut adat dayak yang lebih dominan di samping adat melayu), karena di Kabupaten Sanggau mayoritas non muslim. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau (Sanggau Dalam Angka) tahun 2013 dengan berdasarkan data tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Sanggau secara keseluruhan sebesar 385.859 orang dan dari jumlah tersebut jumlah umat Islam sebesar 121.922 orang[2] atau jumlah umat Islam sekitar 31,59% dari jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Sanggau.

Bagi penulis ini merupakan fenomena baru di masyarakat yang dapat berimplikasi pada kewenangan Majelis Hakim yang memproses perkara perceraian tersebut, khususnya di lingkungan Pengadilan Agama.

PERMASALAHAN

Berdasarkan pengalaman tersebut, penulis akan membahas mengenai bagaimana alternatif pemecahan masalah bagi Majelis Hakim di persidangan dalam mengambil keputusan dalam perkara cerai talak terhadap Pemohon yang keberatan membayar pembebanan melalui rekonvensi atau ex officio, baik nafkah iddah maupun mut’ah dengan alasan Tergugat/Termohon atau Penggugat/Pemohon telah membayar denda adat (khususnya adat dayak) dalam rangka perceraian?

PEMBAHASAN

1. Hukum Positif Yang Mengatur Perceraian Di Indonesia

Menurut ketentuan pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. pasal 113 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebuah perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan.[3]

Penerapan terhadap ketentuan pasal di atas di lingkungan Pengadilan Agama bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara cerai talak yang diajukan oleh pihak suami dan perkara cerai gugat yang diajukan oleh pihak istri. Sepanjang pernikahan suami tersebut dilangsungkan secara Islam dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah  Kantor Urusan Agama, maka Pengadilan Agama berwenang untuk mengadili jika terjadi perceraian.

Demikian pula bagi pasangan suami istri yang menikah sesuai rukun dan syarat menurut hukum Islam namun belum dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama, apabila terjadi perceraian, maka baik suami maupun istri dapat mengajukan perkara itsbat nikah dalam rangka perceraian ke Pengadilan Agama.

Penerapan hukum terhadap itsbat dalam rangka perceraian tersebut mampu memberikan solusi terhadap penertiban administrasi sekaligus memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi anak keturunan dari orang tua yang pernikahannya telah memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam, namun belum dicatat.

Melalui pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. pasal 115 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[4]

Upaya penertiban penanganan perceraian dengan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pengadilan Agama khusus bagi umat Islam atau yang menikah secara Islam, belum sepenuhnya terwujud, karena saat ini masih ada pemikiran terutama di kalangan masyarakat muslim yang menganggap apabila suami telah mengucapkan talak terhadap istri maka jatuhlah talaknya, sehingga memandang sebelah mata proses perceraian di Pengadilan Agama. Kenyataan demikian seharusnya menggugah kita semua warga Peradilan Agama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat muslim berlakunya Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, hasil ijtihad ulama Indonesia yang mengaharuskan perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.[5]

Ketentuan pasal di atas jika dipahami dengan cermat akan menghilangkan pandangan bahwa Pengadilan Agama khususnya sebagai lembaga stempel perceraian atau meluruskan pemahaman yang salah di masyarakat yang menyatakan jika mengajukan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama pasti dikabulkan.

Penulis berpandangan dengan ketentuan tersebut Majelis Hakim diberi kewenangan untuk memeriksa secara cermat alasan yang menjadi dasar permohonan talak yang diajukan oleh suami atau gugatan cerai yang diajukan oleh istri, dan untuk membuktikan permohonan cerai talak atau gugatan perceraian, ada ketentuan yang berlaku khusus (lex specialis) dalam perkara perceraian, walaupun Termohon atau Tergugat tidak hadir, Pemohon/Penggugat wajib menghadirkan minimal 2 (dua) orang saksi dari pihak keluarga maupun orang dekat sebagaimana ketentuan pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

2. Ketentuan Denda Adat

Berbicara tentang denda adat tentunya tidak terlepas dari pembicaraan tentang hukum adat. Menurut Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Kelas 1A Khusus Jakarta Utara, Lilik Mulyadi, dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini (ius constitutum) terminologi hukum adat dikenal dengan istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, “hukum asli Indonesia” dan lain sebagainya.[6]

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen pasal 18B ayat (2) berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.[7]

Dalam hukum Islam ada kaidah yang berbunyi:

العادة محكمة      

Artinya: “Adat dapat dijadikan hukum”. [8]

Daniel S. Lev sebagai dikutip oleh Ansyahrul mengungkapkan “Indonesia merupakan suatu contoh yang menarik sekali, karena sistem hukum yang berlaku di dalamnya merupakan salah satu yang paling kompleks di seluruh dunia – dan nampaknya tidak lain disebabkan keadaan sosial dan politik – bahkan hampir di tiap segi dan bidang akan Nampak Indonesia adalah suatu negara yang serba kompleks”. lebih lanjut Ansyahrul menegaskan kompleksitas tersebut dikarenakan bangsa Indonesai mengenal dan menerapkan begitu banyak sistem hukum antara lain : sistem hukum Hindu-Budha, Sistem Hukum Islam, sistem Hukum Romawi Kuno, beraneka ragam hukum adat, pengaruh hukum Anglo-Saxon, pengaruh dan perubahan sistem hukum semasa gubernur jenderal Herman Willem Daendles, Sir Thomas Stamford Raffles, zaman pendudukan Jepang serta perkembangan sistem hukum nasional yang terjadi sejak kemerdekaan NKRI. [9]

Lebih lanjut Lilik Mulyadi mengatakan apabila dikaji dari perspektif  Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 di mana eksistensinya Pengadilan Adat mulai tidak diakui dan dihapuskan yang berlanjut setelah dikodifikasikan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970, yang kemudian diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999 jis. UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksistensi Pengadilan Adat. Pada ketentuan pasal 1 ayat (2) UU Darurat Nomor 1 Tahun 1950 disebutkan bahwa “Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan….segala Pengadilan Adat (inheemshe rechtspraak in rechtstreekbestuurd gebied) kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat”. Kemudian penjelasan otentik pasal tersebut menyebutkan dasar pertimbangan penghapusan peradilan adat karena peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS dan tidak dikehendaki rakyat.

Akan tetapi penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas, hakikatnya tidak menghapuskan jenis peradilan adat dalam bentuk lain yaitu peradilan desa (dorpjustitie). Aspek dan dimensi ini bertitik tolak sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (3) UU Darurat Nomor 1 Tahun 1950 yang menegaskan bahwa “ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie. Konklusi dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat menentukan peradilan adat yang dihapuskan berdasarkan Undang-Undang Darurat adalah peradilan adat dalam artiinheemshe rechtspraak, sedangkan kewenangan peradilan adat yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan masyarakat hukum adat yaitu peradilan desa (dorpjustitie) tetap dilanjutkan.[10]

Dalam tulisan ini, sepanjang mengenai hukum adat penulis lebih memfokuskan pada permasalahan denda adat menurut adat dayak (khususnya di Kabupaten Sanggau).

Menurut Elly Burhaini Faizal, seorang wartawan “Suara Pembaruan” Jakarta menyatakan dalam tulisannya bahwa “Masyarakat Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sebagian besar hidup dalam naungan hukum adat. Norma-norma adat dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan sosial dan mengelola sumber daya alam. Siapa pun yang melanggar ketentuan hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut pokara adat. Konflik di masyarakat ditangani melalui putusan adat. Putusan diambil oleh para tokoh adat mengacu hukum adat yang berlaku.

Hukum dan peradilan adat disepelekan, karena dianggap kolot dan statis.

Namun, praktik peradilan adat, termasuk “denda adat”, belakangan justru semakin marak di Kabupaten Sanggau. Kabupaten ini dihuni tiga suku besar, yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa.

Masyarakat Dayak mengenal peradilan adat sejak zaman nenek moyang. Hukum adat masih dipraktikkan sampai sekarang. Sengketa diselesaikan lewat peradilan adat yang dipimpin oleh seorang timanggong (temenggung). Pada umumnya timanggong hanya menyelesaikan kasus pelanggaran berat, misalnya penganiayaan berat dan pembunuhan. Sedangkan kasus-kasus sengketa ringan bisa diselesaikan sendiri oleh kepala kampokng (kampung atau desa). Kampokng merupakan sistem yang sudah lama ada.

Penyelesaian perkara mengacu hukum adat melalui peradilan adat adalah kebutuhan bersifat mutlak (conditio sine qua non) bagi masyarakat adat Dayak. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Prof Dr YC Thambun Anyang, SH, berpendapat, kebutuhan itu disebabkan masih kuatnya alam pikiran religio magis dan perasaan kebersamaan di kalangan etnis Dayak. Peradilan adat menjadi alternatif terbaik penyelesaian perkara, karena letak kampung mereka jauh dari ibu kota. Untuk berperkara di peradilan negara di kota, mereka harus menempuh jalan darat yang buruk. Karena itulah, peradilan tetap bertahan hingga sekarang. “Peradilan adat dirasakan cepat, murah, sederhana dan tepat”, ujar Thambun Anyang.

Adat malu masih cukup kuat dianut masyarakat dayak. Mereka umumnya merasa sangat malu apabila harus bersengketa, apalagi berperkara di muka umum. Sengketa maupun perselisihan perkara tidak disukai warga etnis dayak sehingga sedapat mungkin dihindari. Peradilan adat tidak secara sekonyong-konyong dilakukan untuk menyelesaikan perkara. Sengketa biasanya diselesaikan dulu melalui musyawarah secara kekeluargaan tanpa mengabaikan penerapan adat serta hukum adat. “Peradilan adat baru dilakukan apabila penyelesaian secara kekeluargaan tidak berhasil,” Thambun Anyang menambahkan.

Asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dipertimbangkan dalam upaya penyelesaian perkara oleh para ketua adat maupun tetua adat. Diharapkan perkara bisa diselesaikan secara tuntas, tanpa perasaan dendam. Pelaku maupun korban dapat saling memaafkan serta melanjutkan kembali kehidupan secara damai. Kompetensi para tetua adat yang memimpin sidang peradilan adat sangat diperlukan, agar bisa diperoleh penyelesaian perkara terbaik mengacu asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan. Sanksi atau denda adat yang diputuskan dan diterima kedua belah pihak selanjutnya harus dibayar.[11]

Penulis setuju dengan ungkapan Bapak Ketua Mahkamah Agung Dr. H. M. Hatta Ali SH., MH dalam pidato ilmiah “Implementasi Paradigma Restorative Justice Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia” pada acara Milad ke 53 Universitas Ahmad Dahlan, Sabtu, 29 Desember 2013 di Auditorium Kampus 1, Yogyakarta, yang mengatakan bahwa KonsepRestorative Justice telah ada dalam sistem hukum adat yang merupakan kebijakan lokal, dimana penerapan hukum pidana mensyaratkan adanya peraturan sebelum sesuatu perbuatan dapat dikatagorikan perbuatan pidana maka harus ada dasar yang kuat dalam penerapannya demi memenuhi rasa keadilan dan efektivitas penegakkan hukum yang dirasakan manfaatnya.[12]

Penulis dapat memahami ungkapan Ketua Mahkamah Agung Dr. H. M. Hatta Ali, SH., MH, sepanjang yang menjadi dasar pemikiran tentang Restorative Justice tersebut yang dikedepankan adalah nilai keadilan, efektifitas dan nilai manfaat. Bahkan jauh sebelum itu dalam aturan pidana Islam hukuman qishash itu ada pilihan, apabila dalam upaya dalam upaya persuasi pihak keluarga korban merelakan hukuman bagi si pelaku dengan membayar diyat atau denda, maka penyelesaian hukumnya adalah dengan menghukum si pelaku membayar diyat sebagaimana yang telah ditentukan.

Namun menurut penulis dalam hal denda adat menyangkut perceraian yang diberlakukan oleh lembaga/dewan adat dayak tidak ada ketentuan pasti tentang pertama, besaran denda adat, kedua, siapa yang berhak menerima denda adat danketiga, peruntukan uang denda adat tersebut. Setiap desa atau dusun punya aturan sendiri mengenai denda adat, sehingga jika ini dibiarkan berkembang tanpa ada pengaturan maka menurut penulis dalam hal perkara perceraian, pihak berperkaralah yang dirugikan dengan adanya beban denda adat tersebut, sementara kasus perceraian para pihak tetap harus melalui lembaga pengadilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikannya oleh negara melalui undang-undang.

Persoalan akan muncul manakala pihak yang berperkara (dalam hal ini Pemohon) yang telah dikenai denda adat tersebut mengajukan permohonan izin untuk mentalak Termohon, kemudian apakah berdasarkan ex officio atau berdasarkan tuntutan rekonvensi, Pemohon dibebani nafkah lampau atau nafkah iddah dan mut’ah, Pemohon menjawab enggan untuk memenuhi pembebanan tersebut, karena Pemohon telah membayar denda adat untuk bercerai dengan Termohon.

Penulis mengutip pandangan mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang menegaskan bahwa hukum, baik kumpulan norma (gejala normatif) maupun sebagai gejala sosial, adalah sebuah sistem. Ungkapan Cicero “Ubi societas ibi ius” (tidak ada masyarakat tanpa hukum) harus diartikan “tidak ada masyarakat tanpa sistem hukum”. Demikian pula negara, baik sebagai organisasi kekuasaan (macht organisatie) atau sebagai organisasi hukum (recht organisatie) maupun sebagai organisasi sosial (sosial organisatie) senantiasa memiliki sebuah sistem hukum. Tidak ada negara tanpa sistem hukum. Begitu pula Republik Indonesia sebagai sebuah negara merdeka memiliki pula sistem hukum. Berdasarkan premis tersebut, semestinya makna awal dan sekaligus dasar pembangunan hukum (nasional), adalah membangun satu sistem hukum nasional yang mencerminkan watak, ciri, pandangan, fungsi dan tujuan hukum secara nasional. Dalam konteks inilah harus dipahami bahwa pembinaan hukum nasional yang dilakukan melalui pembangunan hukum nasional adalah pembangunan atau pembinaan sistem hukum nasional.

Apakah sistem hukum nasional atau sistem hukum Indonesia (the indonesian legal system) itu? Perlu dicatat, pembangunan sistem hukum nasional, tidak pula berarti selama ini Indonesia tidak memiliki sistem hukum. Paling tidak ada empat sumber hukum (the existing sources of legal system) yang hidup dan berlaku di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum barat, sistem hukum agama dan sistem hukum yang berkembang sejak Indonesia merdeka. Apakah berbagai sistem hukum tersebut tidak dapat dipandang sebagai sub-sub sistem hukum nasional? Kelemahannya, sistem-sistem tersebut bukan satu kesatuan sistem yang terpadu (integrated) yang berperan komplementer satu sama lain. Masing-masing sistem hukum merupakan tatanan bagi lingkungan masyarakat yang terpisah satu sama lain, bukan satu kesatuan sistem. Bahkan lebih jauh, berbagai sistem hukum itu berdiri sendiri atas nilai hukum (legal values), konsep hukum (legal consepts) yang berbeda satu sama lain. Nilai hukum, konsep hukum tersebut berlanjut pada perbedaan lembaga-lembaga hukum (legal institutions) dan norma hukum (legal norms) yang berbeda-beda[13].

Masih menurut Bagir Manan, di Indonesia perempuan dan laki-laki  mempunyai hak pilih yang sama untuk memilih kepala desa. Karena itu, tak berlebihan Van Vollenhoven (Staatsrecht Over Zee), menyatakan ketika pertama kali armada dagang Belanda tiba di Indonesia, mereka menemukan kehidupan masyarakat yang teratur dan sistem pemerintahan republik (demokratis). Kenyataan yang digambarkan di atas, bukan sekedar pluralisme dalam suatu kesatuan hukum, melainkan disertai substansi, prosedur dan tata kelola hukum yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lain. Perbedaan atau pertentangan bukan pada sekedar latar belakang tata nilai, tetapi kepentingan hukum yang berbeda-beda di antara berbagai sistem hukum yang berbeda itu.

Satu sistem hukum nasional tidak semestinya terdiri dari sub-sub sistem hukum yang dibangun atas dasar kelompok-kelompok atau lingkungan masyarakat yang berbeda-beda, seperti yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Hukum dibedakan dengan cara menggolongkan penduduk sebagaimana diatur dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS. Dalam sistem hukum nasional, sub-sub sistem hukum disusun atas dasar kesatuan falsafah, kesatuan nilai, kesatuan komitmen, dalam satu sistem pengelolaan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai satu kesatuan masyarakat hukum. Begitu pula dalam penerapan. Kalaupun dalam penerapan ada perbedaan-perbedaan, bukan pula atas dasar pembedaan lingkungan masyarakat hukum, tetapi untuk mencapai setinggi-tingginya tujuan hukum atau setinggi-tingginya kemaslahatan individual atau sosial. Dapat pula ditambahkan, penggolongan (sistem) hukum di masa Hindia Belanda tidak terlepas dari kepentingan dan keangkuhan kolonial. Kaum kolonial berpandangan tidak layak menggunakan hukum rakyat Indonesia. Demikian pula sebaliknya rakyat Indonesia dipandang “menjadi terlalu beradab” apabila tunduk pada hukum barat yang berlaku untuk kaum kolonial.

Harus diakui, baik dalam pembentukan hukum maupun penerapan hukum dalam berbagai objek hukum, telah dilaksanakan tatanan yang integratif. Tetapi eksistensi berbagai lingkungan masyarakat hukum dengan hukum yang berbeda-beda tetap diakui dan dijalankan, sehingga tidak jarang menimbulkan kegaduhan.[14]

Masih menurut Bagir Manan. “….pembangunan hukum nasional tidak sekedar membentuk hukum baru, tetapi harus dalam kerangka membangun satu sistem sebagai pembaruan dan pembentukan hukum baru untuk mengganti hukum lama atau untuk memenuhi kebutuhan hukum baru. Hal ini penting. Tetapi yang lebih penting adalah membangun sistem hukum nasional (Indonesian Legal System). Hal lain yang selama ini ditekankan adalah membangun satu kesatuan hukum dalam makna mengusahakan unifikasi hukum. Ini juga baik. Tetapi tidak semestinya menjadi ciri (karakter) sistem hukum Indonesia. Kebutuhan hukum yang berbeda-beda, masyarakat Indonesia yang berbeda-beda harus membuka peluang untuk hukum yang berbeda pula. Yang paling penting, perbedaan-perbedaan itu ada dalam satu sistem, yaitu keterpaduan antar berbagai hukum yang berbeda itu.[15]

Berdasarkan pemikiran tersebut menurut penulis harus ada upaya Pemerintah dan DPR membuat Undang-Undang untuk mengatur/menertibkan kebijakan lokal khususnya menyangkut “denda adat” khususnya di Kabupaten Sanggu, Kalimantan Barat, agar jika tetap diberlakukan, denda adat tersebut harus diterima oleh para pihak, bukan untuk lembaga/dewan adat atau pihak yang tidak berkepentingan. Tidak ada salahnya keberadaan adat yang berlaku, namun negara sudah memberikan kewenangan dalam penyelesaian rumah tangga (perceraian) kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, sehingga menurut penulis lebih proporsional dan profesional jika kewenangan lembaga/dewan adat menyelesaikan kasus perceraian hingga pada taraf mediasi saja tanpa denda adat dalam bentuk apapun, untuk selanjutnya kasus perceraiannya diselesaikan di pengadilan.

3. Contoh Kasus

Selama Penulis bertugas di Pengadilan Agama Sanggau, secara riil penulis pernah memproses kasus cerai talak yang didahului oleh proses cerai secara adat. Secara ex officio Majelis Hakim dapat membebankan kepada Pemohon untuk membayar nafkah selama masa iddah kepada Termohon. Namun berdasarkan pemeriksaan di persidangan mulai dari permohonan, jawaban, replik, duplik dan pemeriksaan saksi-saksi, terbukti bahwa Termohon telah membayar denda adat sebesar Rp 6.350.000,00 (enam juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) kepada lembaga/dewan adat dayak Dusun Palem Jaya, Desa Binjai, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau. Berdasarkan alasan Termohon telah membayar denda adat sebagai tanda menceraikan Pemohon, maka Pemohon mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama Sanggau.

Walaupun dalam ketentuan fikih Islam maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia membayar denda adat tidak termasuk kategori nusyuznya seorang istri, namun Majelis Hakim menilai dengan Termohon membayar denda adat tersebut dapat dianalogikan kepada perceraian dengan cara khulu’ (talak tebus) Termohon melepaskan diri dalam ikatan perkawinan dengan Pemohon dengan cara membayar uang iwadh dan menurut adat dayak Dusun Palem Jaya, Desa Binjai, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, antara Pemohon dengan Termohon dilarang berkumpul kembali (perkara nomor 121/Pdt.G/2014/PA.Sgu). [16]

Berdasarkan pemikiran tersebut Majelis Hakim berkesimpulan Termohon nusyuz dan Majelis Hakim tidak menggunakan kewenangan secara ex officio untuk membebankan nafkah iddah kepada Pemohon.

Menurut A. Razak Pellu makna hak ex officio untuk hakim adalah suatu kewenangan dalam arti secara luas, hakim karena jabatannya itu pulalah ia bisa bertindak dalam menyelesaikan suatu kasus tertentu di luar peraturan perundang-undangan, artinya ia tidak terikat dengan pasal dan ayat yang ada, karena hakim bukanlah coreng undang-undang tapi hakim bisa mengembangkan makna pasal dan ayat itu untuk tujuan penyelesaian kasus yang dihadapi, namun kewenangan ini harus tetap berada di dalam kerangka hukum serta bertujuan untuk penegakan keadilan dan kebenaran secara sempurna.[17]

Dalam tulisan ini penulis juga memberikan contoh lain, namun masih menyangkut kewenangan lembaga/dewan adat, yaitu kasus yang pernah penulis hadapi di lapangan dalam menyelesaikan perkara harta bersama ketika penulis bertugas di Pengadilan Agama Poso, Sulawesi Tengah (perkara nomor 171/Pdt.G/2010/PA.Pso).

Perkara tersebut diajukan oleh mantan istri sebagai Penggugat terhadap mantan suami sebagai Tergugat yang telah bercerai sesuai Akta Cerai yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama Poso nomor 116/AC/2009/PA.Pso tanggal 19 September 2009. Dalam gugatannya Penggugat mendalilkan sejak perkawinannya tanggal 19 September 1993 sampai Penggugat bercerai dengan Tergugat tanggal 19 September 2009 talah memperoleh harta bersama yang belum pernah dibagi. Oleh karena itu Penggugat mengajukan pembagian harta bersama yang diperoleh semasa perkawinannya dengan Tergugat.

Dalam pemeriksaan perkara di muka persidangan dalam tahapan pembuktian 2 (dua) orang saksi Tergugat memberi keterangan dibawah sumpahnya masing-masing menurut tata cara agama Islam di muka persidangan menyatakan bahwa ketika penyelesaian kasus perceraian antara Penggugat dengan Tergugat, atas laporan salah satu pihak kepada lembaga/dewan Adat Kelurahan Moengko, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, keduanya pernah diupayakan rukun oleh lembaga/dewan adat Kelurahan Moengko, namun tidak berhasil. Tergugat tetap pada pendiriannya menuduh Penggugat telah berselingkuh dan berbuat zina, namun ketika proses penyelesaian di lembaga adat, tuduhan perselingkuhan dan perbuatan zina tersebut tidak terbukti, namun kedua orang saksi Tergugat tersebut menyatakan dalam ketentuan adat Kelurahan Moengko walaupun perselingkuhan dan perzinahannya tidak terbukti, apabila:

1. Siapa saja baik suami atau istri yang pergi meninggalkan rumah kediaman bersama, maka dia tidak berhak atas harta bersama (keterangan saksi II Tergugat);
2. Karena tuduhan berselingkuh dan berzina tidak terbukti, maka Penggugat tidak dikenai sanksi adat. Namun oleh karena setelah perceraian Penggugat menikah dengan orang yang telah dituduh menjadi pasangan selingkuhannya, maka menurut adat Kelurahan Moengko, terbuktilah perselingkuhan tersebut dan konsekuensinya pihak yang berselingkuh dalam hal ini Penggugat tidak berhak atas harta bersama (keterangan saksi III Tergugat).[18]

Dari paparan di atas penulis bermaksud mengungkap walaupun pada peristiwa tersebut tidak ada pihak yang diwajibkan membayar denda adat, namun terlihat dengan jelas hasil musyawarah lembaga/dewan adat di masyarakat dijadikan dasar atau dalil oleh para pihak untuk menggugat atau dijadikan jawaban atau bantahan dalam menghadapi lawan berberkara di pengadilan.

Berdasarkan pengalaman tersebut, penulis berpandangan  condition sine qua non bagi para hakim harus mempunyai kemampuan mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir dengan cermat agar dalam membuat putusan nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan dapat diwujudkan.

4. Alternatif Pemecahan Masalah

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, jika perceraian atas inisiatif suami atau cerai talak maka menyangkut pembebanan kepada suami berlaku ketentuan sebagai berikut:

–       Pasal 41 huruf (c) UU Nomor 1 Tahun 1974

“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri”

–       Pasal 149 KHI

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

(a)  Memberi  mut’ah  yang  layak  kepada  bekas  istrinya  baik  berupa uang atau benda, kecuali bekas istrinya tersebut qabla al dukhul.

(b) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhkan talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil

–       Pasal 152 KHI

Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.

–       Pasal 158 KHI

Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:

(b) Perceraian itu atas kehendak suami.

Merujuk kepada ketentuan yang telah disebutkan di atas, secara yuridis normatif, ketentuan tersebut menjadi acuan bagi Majelis Hakim dalam menjatuhkan pembebanan berupa nafkah selama masa iddah dan mut’ah sesuai hasil pemeriksaan secara cermat di persidangan.

Dalam kondisi masyarakat mayoritas non muslim (seperti di Kabupaten Sanggau) dan hukum adatnya (adat dayak) lebih dominan, maka menurut penulis seorang hakim harus lebih arif dalam menerapkan hukum yakni melakukan penemuan hukum dengan memperluas penafsiran hukum dan contra legem (kewenangan hakim untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada, tetapi telah usang atau ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat) khusus terhadap penerapan pasal-pasal tentang pembebanan nafkah iddah dan mut’ah.

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim ialah perundang-undangan, hukum tidak tertulis, putusan desa, yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. lebih lanjut sudikno mertokusumo mengatakan Hukum yang tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat merupakan sumber bagi hakim untuk menemukan hukum. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 5ayat 1 UU No. 48 tahun 2009). Hakim harus memahami kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat itu. Dalam hal ini hakim dapat meminta keterangan dari para ahli, kepala adat dan sebagainya. Bahwa putusan desa merupakan sumber menemukan hukum bagi hakim diletakkan secara tertulis dalam pasal 120a HIR/pasal 143a Rbg. Putusan desa ini merupakan penerapan administratif oleh hakim perdamaian desa yang merupakan lembaga peradilan yang sesungguhnya, melainkan merupakan lembaga eksekutif, sehingga hakim dalam lingkungan peradilan umum tidak berwenang untuk menilai putusan desa dengan membatalkan atau mengesahkan. [19]

Abdul Manan mengatakan dalam usaha menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dalam persidangan, Majelis Hakim dapat mencarinya dalam

1. Kitab-kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis,
2. Kepala Adat dan penasihat agama sebagaimana tersebut dalam pasal 44 dan 15 Ordonansi adat bagi hukum tidak tertulis
3. sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusan-putusan terdahulu itu, ia dapat menyimpang dan berbeda pendapat jika ia yakin terdapat ketidakbenaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat berpedoman sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang beperkara.
4. tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum dan buku-buku ilmu pengetahuan lain yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa itu. [20]

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, penulis memaparkan beberapa alternatif pemecahan masalah dalam perkara perceraian berkaitan dengan denda adat sebagai berikut:

1)        Dalam hal perkara cerai talak, sebelum proses perceraian di pengadilan Termohon (istri) membayar denda adat, penulis berpendapat bahwa apabila Termohon membayar denda adat, berarti inisiatif untuk bercerai pada hakikatnya adalah dari Termohon, jika hal itu terjadi maka istri dinilai nusyuz. Dengan demikian istri tidak berhak untuk mendapat nafkahiddah, kecuali mut’ah.

2)        Dalam hal perkara cerai talak, sebelum proses perceraian di pengadilan Pemohon membayar denda adat kepada lembaga/dewan adat menurut penulis Majelis Hakim secara ex officio dapat membebankan kewajiban nafkah iddah danmut’ah, apabila denda adat yang dibayar tersebut diterima lembaga/dewan adat dan tidak diserahkan kepada Termohon (istri), dengan tetap mempertimbangkan keadilan dan kemaslahatan.

3)        Dalam hal perkara cerai talak, sebelum proses perceraian di pengadilan Pemohon membayar denda adat kepada lembaga/dewan adat, namun denda tersebut oleh lembaga/dewan adat diserahkan kepada Termohon (istri) menurut penulis Majelis Hakim secara ex officio dapat pula menggugurkan pembebanan iddah saja atau iddah dan mut’ah, dengan tetap mempertimbangkan keadilan dan kemaslahatan.

4)        Dalam hal perkara cerai talak, sebelum proses perceraian di pengadilan Pemohon dan Termohon membayar denda adat kepada lembaga/dewan adat menurut penulis Majelis Hakim secara ex officio dapat membebankan kewajiban nafkahiddah dan mut’ah.

 

KESIMPULAN

   Dari uraian yang telah diutarakan, penulis berkesimpulan sebagai berikut:

1. Perlu adanya pembahasan mendalam secara yurudis dan pendekatan secara sosiologis terhadap ketentuan pidana dalam RUUPA, khususnya pasal 146 untuk mengakomodir aturan-aturan lokal (hukum adat) berkaitan dengan denda adat khususnya tentang perkawinan dalam hal perceraian;
2. Bagi para ahli hukum, pemerintah dan DPR hendaknya merespon berlakunya ketentuan adat (menyangkut perkawinan dan perceraian) yang ada di masyarakat, sehingga ketika RUUPA atau undang-undang lain yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian disahkan tidak berbenturan dengan ketentuan adat yang berlaku di masyarakat dan tidak merugikan para pihak (khususnya dalam perkara cerai talak) karena pembebanan ganda yakni denda adat dan nafkah iddah dan mut’ah;
3. Bagi para hakim hendaknya harus lebih mempertimbangkan secara sosiolgis kondisi masyarakat dalam membuat putusan,wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sesuai anamat pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, sehingga putusan yang dibuat bernilai kepastian, keadilan dan manfaat.

SUMBER   PUSTAKA

Abdurrahman, Imam Jalaluddin, ”Al Asybah Wan Nazha’ir”, Bairut: Darul Fikri, 1995.

Amin Suma, Muhammad, ”Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia”, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Ansyahrul, ”Pemuliaan Peradilan dari dimensi Integritas Hakim, Pengawas dan Hukurm Acara (kumpulan makalah)”,Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2011

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau, ”Sanggau Dalam Angka”, Tahun 2013.

Berkas perkara Nomor 171/Pdt.G/2010/PA.Pso

Berkas perkara Nomor 121/Pdt.G/2014/PA.Sgu.

http://www.huma.or.id

http://www. mahkamahagung.go.id, 29 Desember 2013

Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), ”Varia Peradilan”, Majalah Hukum ThnXXIX No. 339, Jakarta: Februari 2014.

Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), ”Varia Peradilan”, Majalah Hukum ThnXXIX No. 340, Jakarta: Maret 2014.

Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), ”Varia Peradilan”, Majalah Hukum Thn ThnXXIX No. 342, Jakarta: Mei 2014.

Manan, Abdul, ”Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peadilan Agama”, Jakarta: Kencana, 2006

Mertokusumo, Sudikno, ”Hukum Acara Perdata Indonesia”,Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2013